Melafalkan
Niyat33.
Fatwa Syekh
‘Athiyyah Shaqar.
Pertanyaan:
Sebagian orang mengatakan bahwa melafalkan
niat shalat itu bid’ah, karena tempat niat di dalam hati.
Apakah jika seseorang melafalkan niatnya maka shalatnya batal atau pahalanya
sia-sia?
Jawaban:
Makna niat adalah sengaja melakukan
sesuatu. Niat itu tempatnya di hati. Tidak wajib melafalkan niat shalat,
demikian juga dengan ibadah lainnya. Diterimanya shalat tidak terikat dengan
lafal niat apakah dilafalkan atau pun tidak.
Mazhab Syafi’I berpendapat: boleh
melafalkan niat, bahkan dianjurkan, karena melafalkan niat itu lidah membantu
hati. Andai tidak dilafalkan, maka shalat tetap sah dan diterima insya Allah
jika memenuhi syarat, diantaranya adalah khusyu’ dan ikhlas.
Dalam Fiqh al-Madzahib al-Arba’ah dinyatakan bahwa Mazhab Maliki
berpendapat: melafalkan niat itu bertentangan dengan yang lebih utama, kecuali
bagi orang yang ragu-ragu, maka dianjurkan melafalkan niat untuk menolak
was-was (keraguan).
Menurut Mazhab Hanafi: melafalkan niat
itu bid’ah. Karena tidak ada riwayat dari Rasulullah Saw dan para shahabatnya.
Akan tetapi dianggup baik untuk menolak was-was.
Kesimpulannya bahwa tempat niat itu di
hati, tidak disyaratkan mesti dilafalkan, bahkan menurut Mazhab Hanafi: bid’ah.
Menurut Mazhab Maliki: bertentangan dengan yang lebih utama. Akan tetapi bagi
orang yang ragu-ragu, maka melafalkan niat itu dianjurkan dan dianggap baik.
Menurut Mazhab Syafi’i: sunnat.
Ibnu al-Qayyim dalam kitab Zad al-Ma’ad, juz. I, hal. 51 mengecam keras mereka
yang membolehkan melafalkan niat, beliau meluruskan pendapat Mazhab Syafi’I
dalam masalah ini. Imam Ibnu al-Qayyim berkata, “Ketika Rasulullah Saw akan
melaksanakan shalat, beliau mengucapkan: “Allahu Akbar”. Beliau tidak
mengucapkan sesuatu sebelumnya. Beliau tidak melafalkan niat sama sekali.
Beliau tidak mengucapkan, “Aku melaksanakan shalat anu, menghadap kiblat, empat
rakaat, menjadi imam atau makmum”. Beliau juga tidak mengucapkan, “Shalat ada’
atau qadha’, atau shalat fardhu”. Hanya saja sebagian ulama kalangan
muta’akhirin tergoda dengan pendapat Imam Syafi’i tentang shalat, bahwa shalat
itu tidak sama seperti puasa, setiap orang masuk ke dalam shalat dengan zikir.
Lalu mereka
menyangka bahwa zikir yang dimaksud
adalah melafalkan niat. Yang dimaksud Imam Syafi’i dengan zikir itu adalah
Takbiratul Ihram, bukan yang lain. Bagaimana mungkin Imam Syafi’i menganjurkan
sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah Saw dalam satu shalat, demikian juga
dengan para khalifah setelahnya dan para shahabatnya.
Ini pendapat Ibnu al-Qayyim, dan para
imam yang lain memiliki pendapat masing-masing. Hukum yang menyatakan bahwa
melafalkan niat itu adalah bid’ah, pendapat ini tidak dapat diterima,
apalagi sampai mengatakannya sebagai bid’ah dhalalah. Karena para ulama besar membolehkannya, mereka menyebutnya sunnat,
atau mustahab dan mandub dalam suatu kondisi tertentu, seperti dalam keadaan was-was.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa melafalkan niat itu tidak mendatangkan
mudharat, justru terkadang mendatangkan manfaat.
33 Fatawa al-Azhar, juz. IX,
hal. 66 [Maktabah Syamilah],
Penyusun dan Penterjemah.
H. Abdul Somad, Lc., MA
H. Abdul Somad, Lc., MA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.