Bersalaman
Selesai Shalat28.
Fatwa Syekh
DR. Ali Jum’ah.
Pertanyaan:
Apa hukum bersalaman selesai shalat?
Jawaban:
Bersalaman itu dianjurkan pada hukum
asalnya. Imam an-Nawawi berkata, “Ketahuilah bahwa beralaman itu sunnah, disepakati
hukumnya, bersalaman ketika bertemu”. (Fath al-Bari, al-Hafizh Ibnu Hajar, juz. XI, hal. 55, menukil pendapat Imam
an-Nawawi). Ibnu Baththal berkata, “Asal bersalaman itu baik, demikian menurut
mayoritas ulama”. (Fath
al-Bari, al-Hafizh
Ibnu Hajar, juz. XI, hal. 55, menukil pendapat Imam an-Nawawi; Tuhfat al-Ahwadzi, juz. VII, hal. 426).
Banyak ahli Fiqh dari berbagai mazhab
menyebutkan bahwa bersalaman diantara laki-laki itu dianjurkan. Mereka berdalil
dengan hadits-hadits shahih dan hasan. Diantaranya adalah hadits yang
diriwayatkan Ka’ab bin Malik, ia berkata:
“Saya
masuk ke dalam masjid. Rasulullah Saw duduk, di sekelilingnya banyak orang. Thalhah
bin ‘Ubaidillah berdiri datang kepada saya berlari-lari kecil hingga ia
menyalami saya dan mengucapkan tahni’ah kepada saya”. (HR. Ahmad, al-Bukhari dan
Muslim). Dari Qatadah, ia berkata, “Saya berkata kepada Anas, “Apakah para
shahabat nabi itu bersalaman?”. Ia menjawab, “Ya”. (HR. al-Bukhari dan Ibnu
Hibban). Diriwayatkan dari ‘Atha’ bin Abi Muslim Abdullah al-Khurasani, ia
berkata, “Rasulullah Saw bersabda:
“Bersalamanlah kamu, ia menghilangkan
dengki. Saling member hadiahlah kamu, maka kamu akan berkasih sayang dan
menghilangkan permusuhan”. (HR. ad-Dailami dalam Musnad
al-Firdaus).
Adapun bersalaman setelah selesai shalat,
tidak seorang pun ulama mengharamkannya, bahkan mereka menganjurkannya.
Bersalaman selesai shalat itu bid’ah
hasanah (bid’ah yang baik) atau bid’ah mubahah (bid’ah yang dibolehkan). Imam an-Nawawi membahas masalah ini secara
terperinci, beliau berkata, “Jika orang yang bersalaman itu belum menyalami
saudaranya sebelum shalat, maka salamannya itu sunnah hasanah. Jika ia telah menyalami saudaranya
sebelum shalat, maka salaman-nya itu mubah (boleh)”. (al-Majmu’, an-Nawawi, juz. III, hal. 469 – 470).
Imam al-Hashkafi berkata, “Apa yang
dikatakan pengarang -at-Tamrutasyi- mengikuti apa yang telah disebutkan dalam ad-Durar, al-Kanz, al-Wiqayah,
an-Niqayah, al-Majma’, al-Multaqa dan kitab-kitab lainnya. Mengandung makna boleh bersalaman secara
mutlak, meskipun setelah shalat ‘Ashar. Pendapat mereka yang mengatakan bid’ah, artinya bid’ah mubahah hasanah (bid’ah yang dibolehkan dan baik), sebagaimana yang dinyatakan Imam an-Nawawi
dalam al-Adzkar
karyanya”. (ad-Durr al-Mukhtar, al-Hashkafi, juz. VI, hal. 380).
Imam Ibnu ‘Abidin memberikan komentar
setelah menyebutkan pendapat ulama yang menyatakan boleh secara mutlak dari
kalangan ulama Mazhab Hanafi, “Ini yang sesuai dengan apa yang dikatakan pen-syarah dari teks matn yang bersifat umum. Ia berdalil dengan
pendapat ini berdasarkan nash-nash
yang bersifat
umum tentang bersalaman menurut syariat Islam”. (Radd al-Mukhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar
dikenal
dengan nama Hasyiyah
Ibn ‘Abidin, juz. VI,
hal. 381).
Mereka berpendapat bahwa bersalaman
setelah shalat itu dibolehkan secara mutlak. Ath-Thabari berdalil dengan hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan al-Bukhari dari Abu Juhaifah, ia berkata:
“Rasulullah
Saw pergi dari al-Hajirah ke al-Bath-ha’, beliau berwudhu’, kemudian
melaksanakan shalat Zhuhur dua rakaat dan ‘Ashar dua rakaat. Di depannya ada
tongkat. Perempuan lewat di belakangnya. Orang banyak berdiri, mereka menarik
tangan Rasulullah Saw dan mengusapkannya ke wajah mereka. Aku menarik tangan
Rasulullah Saw dan meletakkannya ke wajahku, tangan itu lebih sejuk daripada es
dan lebih harum daripada kasturi”. (HR. al-Bukhari).
Al-Muhib ath-Thabari berkata, “Riwayat
ini dapat dijadikan dalil karena sesuai dengan apa yang dilakukan kaum muslimin
yaitu bersalaman setelah shalat dalam berjamaah, terlebih lagi pada shalat
‘Ashar dan Maghrib, jika bersalaman itu berkaitan dengan menyalami orang shaleh
untuk mengambil berkah atau berkasih sayang dan lainnya”.
Adapun Imam al-‘Izz bin ‘Abdissalam,
setelah membagi bid’ah menjadi lima bagian: bid’ah wajib, bid’ah haram, bid’ah makruh, bid’ah mustahab dan bid’ah mubah. Beliau berkata, “Bid’ah
mubahah itu memiliki beberapa
contoh, diantaranya adalah bersalaman setelah shalat Shubuh dan shalat ‘Ashar”.
(Qawa’id
al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, ‘Izz bin Abdissalam, juz. II, hal. 205).
Imam an-Nawawi berkata, “Adapun
bersalaman yang biasa dilakukan setelah shalat Shubuh dan ‘Ashar. Syekh Imam
Abu Muhammad bin Abdissalam menyebutkan bahwa itu bid’ah mubahah, tidak disebut makruh atau mustahab. Yang ia katakan ini baik. Menurut
pendapat pilihan dikatakan bahwa, jika seseorang menyalami orang lain yang
telah ada bersamanya sebelum shalat, maka boleh, seperti yang telah kami
sebutkan. Jika ia menyalami orang yang sebelumnya tidak ada bersamanya sebelum
shalat, maka salaman itu dianjurkan. Karena bersalaman ketika bertemu itu
sunnat menurut Ijma’ berdasarkan hadits-hadits shahih”. (al-Majmu’, an-Nawawi, juz. III, hal. 469 – 470).
Dengan demikian dapat diketahui bahwa
orang yang mengingkari bersalaman setelah shalat itu ada dua kemungkinan;
mungkin tidak mengetahui dalil-dalil yang telah kami sebutkan atau tidak
berjalan diatas manhaj ilmu yang menjadi dasar. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.
28 Syekh DR. Ali
Jum’ah, Al-Bayan
li ma Yusyghil al-Adzhan, (Cet. I; Kairo: al-Muqaththam, 1426H/2005M), hal. 262
Penyusun dan Penterjemah.
H. Abdul Somad, Lc., MA
H. Abdul Somad, Lc., MA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.