Doa Qunut30.
Fatwa Syekh
‘Athiyyah Shaqar.
Pertanyaan:
Apakah doa Qunut dalam shalat itu
disyariatkan? Jika disyariatkan, apakah dalam semua shalat? Adakah lafaz-lafaz
tertentu?
Jawaban:
Qunut adalah doa yang disyariatkan dalam
semua shalat lima waktu ketika terjadi bencana, berdasarkan hadits Ibnu Abbas,
“Rasulullah Saw melaksanakan Qunut dalam shalat lima waktu selama satu bulan.
Beliau mendoakan (laknat) kawasan Bani Sulaim; Ri’l, Dzakwan dan ‘Ushayyah,
karena mereka telah membunuh sebagian shahabat yang dikirim untuk mengajarkan
Islam kepada mereka. Diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ahmad. Juga sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari bahwa jika Rasulullah Saw ingin
mendoakan yang tidak baik (laknat) atau yang baik untuk seseorang, beliau
membaca doa Qunut setelah ruku’. Dalam riwayat ini disebutkan, “Rasulullah Saw
mengucapkannya dengan suara terdengar (jahr). Beliau mengucapkan dalam sebagian
shalatnya dan dalam shalat Shubuh:
“Ya Allah, laknatlah fulan dan fulan”, dua kawasan Arab. Hingga Allah Swt
menurunkan ayat:
“Tak ada sedikitpun campur tanganmu
dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka
karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim”. (Qs. Al ‘Imran [3]: 128).
Berdasarkan ini maka doa Qunut dalam
shalat Shubuh disyariatkan ketika terjadi bencana, sama seperti shalat-shalat
yang lain. Adapun ketika tidak terjadi bencana, maka ada beberapa pendapat
Fuqaha’ (ahli Fiqh) secara ringkas.
Mazhab Hanafi dan Hanbali: tidak disyariatkan. Mereka berdalil
dengan riwayat Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah, dari Anas, “Sesungguhnya Rasulullah Saw tidak
membaca doa Qunut dalam shalat Shubuh, kecuali untuk mendoakan yang baik atau
yang tidak baik (laknat) untuk mereka”.
Mazhab Maliki dan Syafi’i: disyariatkan. Dalil mereka adalah riwayat
jamaah ahli hadits, kecuali Imam at-Tirmidzi, bahwa Anas bin Malik ditanya,
“Apakah Rasulullah Saw membaca doa Qunut dalam shalat Shubuh?”. Beliau
menjawab, “Ya”. Dan diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bazzar, ad-Daraquthni,
al-Baihaqi, al-Hakim, dinyatakan shahih oleh al-Hakim, dari Anas, ia berkata,
“Rasulullah Saw terus menerus membaca doa Qunut dalam shalat Shubuh hingga
beliau meninggal dunia”.
Pembahasan dalil-dalil ini dan penjelasan
tarjih-nya dapat merujuk kitab Zad al-Ma’ad karya Ibnu al-Qayyim yang setelah
membahas beberapa riwayat beliau menjelaskan bahwa ahli hadits bersikap
pertengahan antara mereka yang mengingkari Qunut secara mutlak bahkan ketika
terjadi bencana dan diantara mereka yang menganggap baik Qunut secara mutlak,
baik ketika terjadi bencana atau pun tidak terjadi bencana. Ahli hadits tidak
mengingkari orang-orang yang terus menerus berqunut dan tidak membenci
perbuatan mereka tersebut, mereka tidak menganggapnya sebagai bid’ah dan pelakunya tidak dianggap sebagai
pelaku perbuatan yang bertentangan dengan Sunnah. Ahli hadits juga tidak
mengingkari orang-orang yang mengingkari Qunut meskipun ketika terjadi bencana.
Ahli hadits tidak menganggap orang-orang yang tidak mau berqunut itu bid’ah dan bertentangan dengan Sunnah. Akan
tetapi, siapa yang berqunut, maka ia telah berbuat baik dan orang yang tidak
mau berqunut juga telah berbuat baik, ini termasuk khilaf yang dibolehkan, khilaf yang tidak perlu bersikap keras di
dalamnya, apakah melakukannya atau pun tidak melakukannya. Sama seperti masalah
apakah mengangkat kedua tangan atau tidak mengangkat kedua tangan dalam shalat.
Saya katakan, “Khilaf dalam masalah ini sangat sederhana, khilaf dalam masalah sunnat, bukan wajib dan agama
itu memberikan kemudahan”.
Imam Ahmad dan beberapa pengarang kitab as-Sunan meriwayatkan dari Abu Malik al-Asyja’i
bahwa ia mengatakan Qunut Shubuh itu bid’ah, karena ia melaksanakan shalat Shubuh di belakang Rasulullah Saw, Abu
Bakar, Umar dan Ali, semua mereka tidak berqunut. Ad-Daraquthni meriwayatkan
bahwa Ibnu Abbas berkata, “Qunut pada shalat Shubuh itu bid’ah”.
Dapat digabungkan antara riwayat-riwayat
yang menyatakan adanya Qunut Shubuh dan riwayat-riwayat yang menafikannya,
bahwa mereka yang menjadi sumber riwayat ini terkadang berqunut dan terkadang
tidak berqunut, karena Qunut itu sunnat , bukan wajib. Sebagaimana diketahui
bersama bahwa riwayat yang menyatakan ada lebih didahulukan daripada riwayat
yang menafikan. Jika sebagian shahabat tidak berqunut karena karena tidak
melihat Rasulullah Saw berqunut, maka sesungguhnya tidak melihat itu tidak
menunjukkan nafi secara mutlak. Ibnu Hazm menyatakan bahwa Ibnu Mas’ud yang
tidak berqunut, ia tidak mengetahui riwayat tentang meletakkan dua tangan diatas
lutut ketika ruku’. Dan Ibnu Umar yang menyatakan tidak mendapatkan riwayat
dari salah seorang shahabat tentang Qunut Shubuh, sebagaimana riwayat
al-Baihaqi, ia tidak mengetahui riwayat tentang mengusap dua sepatu Khuff.
Ini tentang Qunut Shubuh, adapun Qunut
Witir, maka hukumnya sunnat menurut Mazhab Syafi’i, dibaca pertengahan kedua di
bulan Ramadhan. Adapun selain waktu ini, terdapat perbedaan pendapat:
Mazhab Hanbali: Qunut itu sunnat pada shalat Witir pada satu rakaat, di sepanjang
tahun.
Mazhab Maliki dan Syafi’i: tidak disunnatkan. Satu riwayat dari Imam
Ahmad juga menyatakan demikian.
Mazhab Hanafi: sunnat dilakukan sepanjang tahun.
Ibnu Taimiah berkata dalam Majmu’ Fatawa, jilid 22, halaman 264 – 269: adapun Qunut
Witir, ada tiga pendapat ulama:
Pertama, tidak dianjurkan sama sekali, karena
tidak ada riwayat dari Rasulullah Saw bahwa beliau membaca doa Qunut dalam
shalat Witir.
Kedua, dianjurkan di sepanjang tahun,
sebagaimana riwayat dari Ibnu Mas’ud dan lainnya. Karena dalam kitab-kitab as-Sunan disebutkan bahwa Rasulullah Saw
mengajarkan doa kepada al-Hasan bin Ali, doa yang dibaca dalam Qunut Witir.
Ketiga, Qunut dibaca pada pertengahan kedua
(akhir) Ramadhan, sebagaimana yang dilakukan oleh Ubai bin Ka’ab.
Qunut Nawazil disyariatkan dalam shalat selain shalat
Shubuh. Imam an-Nawawi berkata –beliau bermazhab Syafi’i-, “Dalam masalah ini
ada tiga pendapat. Menurut pendapat yang shahih dan masyhur yang dipegang oleh
jumhur ulama bahwa Qunut Nawazil disyariatkan dalam semua shalat, selama
ada bencana. Jika tidak ada bencana, maka tidak dibaca doa Qunut Nawazil. Menurut Mazhab Maliki, jika dibaca,
maka shalat tidak batal, hanya makruh.
Qunut Nawazil dibaca setelah ruku’, demikian menurut
Mazhab Syafi’i dan Hanbali dan dalam satu riwayat dari Imam Ahmad beliau
berkata, “Menurut saya setelah ruku’. Jika dibaca sebelum ruku’, maka tidak
mengapa”.
Menurut Mazhab Maliki dan Hanafi: Qunut Nawazil dibaca sebelum ruku’.
Menurut Mazhab Syafi’i: doa Qunut boleh
dengan kalimat apa pun yang mengandung doa dan pujian, seperti:
“Ya Allah, ampunilah aku wahai Maha
Pengampun”.
Doa Qunut yang paling afdhal adalah:
“Ya Allah, berilah hidayah kepadaku
seperti orang-orang yang telah Engkau beri hidayah. Berikanlah kebaikan
kepadaku seperti orang-orang yang telah Engkau beri kebaikan. Berikan aku
kekuatan seperti orang-orang yang telah Engkau beri kekuatan. Berkahilah bagiku
terhadap apa yang telah Engkau berikan. Peliharalah aku dari kejelekan yang
Engkau tetapkan. Sesungguhnya Engkau menetapkan dan tidak ada sesuatu yang
ditetapkan bagi-Mu. Tidak ada yang merendahkan orang yang telah Engkau beri
kuasa dan tidak ada yang memuliakan orang yang Engkau hinakan. Maka Suci Engkau
wahai Tuhan kami dan Engkau Maha Agung”.
Diriwayatkan dari al-Hasan bin Ali bahwa
Rasulullah Saw mengajarkan doa ini kepadanya, sebagaimana yang diriwayatkan Abu
Daud, an-Nasa’i, at-Tirmidzi dan lainnya. At-Tirmidzi berkata, “Hadits Hasan. Tidak diketahui ada hadits yang lebih
baik daripada ini diriwayatkan dari Rasulullah Saw”.
Lafaz pilihan menurut Mazhab Hanafi
adalah sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Mas’ud dan Umar:
“Ya Allah, sesungguhnya kami memohon
pertolongan kepada-Mu, memohon hidayah kepada-Mu, memohon ampun kepada-Mu,
beriman kepada-Mu, bertawakkal kepada-Mu, memuji-Mu dan tidak kafir kepada-Mu.
Kami melepaskan diri dan meninggalkan orang yang berbuat dosa kepada-Mu. Ya
Allah, kepada-Mu kami menyembah, kepada-Mu kami shalat dan bersujud. Kepada-Mu
kami bersegera dalam beramal dan berbuat kebaikan. Kami mengharap rahmat-Mu dan
takut kepada azab-Mu. Sesungguhnya azab-Mu yang sangat keras menyertai
orang-orang kafir”.
Imam Nawawi berkata: “Dianjurkan
menggabungkan antara doa Qunut riwayat Umar dengan doa Qunut riwayat al-Hasan.
Jika tidak mampu, maka cukup membaca doa Qunut riwayat al-Hasan. Disunnatkan
membaca shalawat kepada nabi setelah membaca doa Qunut.
30 Fatawa al-Azhar, juz. IX,
hal. 5 [Maktabah Syamilah].
Penyusun dan Penterjemah.
H. Abdul Somad, Lc., MA
H. Abdul Somad, Lc., MA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.