Jumat, 26 Januari 2018

Doa Qunut



Doa Qunut30.
Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar.
Pertanyaan:
Apakah doa Qunut dalam shalat itu disyariatkan? Jika disyariatkan, apakah dalam semua shalat? Adakah lafaz-lafaz tertentu?

Jawaban:
Qunut adalah doa yang disyariatkan dalam semua shalat lima waktu ketika terjadi bencana, berdasarkan hadits Ibnu Abbas, “Rasulullah Saw melaksanakan Qunut dalam shalat lima waktu selama satu bulan. Beliau mendoakan (laknat) kawasan Bani Sulaim; Ri’l, Dzakwan dan ‘Ushayyah, karena mereka telah membunuh sebagian shahabat yang dikirim untuk mengajarkan Islam kepada mereka. Diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ahmad. Juga sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari bahwa jika Rasulullah Saw ingin mendoakan yang tidak baik (laknat) atau yang baik untuk seseorang, beliau membaca doa Qunut setelah ruku’. Dalam riwayat ini disebutkan, “Rasulullah Saw mengucapkannya dengan suara terdengar (jahr). Beliau mengucapkan dalam sebagian shalatnya dan dalam shalat Shubuh:
 Ya Allah, laknatlah fulan dan fulan”, dua kawasan Arab. Hingga Allah Swt menurunkan ayat:
 Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim”. (Qs. Al ‘Imran [3]: 128).
Berdasarkan ini maka doa Qunut dalam shalat Shubuh disyariatkan ketika terjadi bencana, sama seperti shalat-shalat yang lain. Adapun ketika tidak terjadi bencana, maka ada beberapa pendapat Fuqaha’ (ahli Fiqh) secara ringkas.

Mazhab Hanafi dan Hanbali: tidak disyariatkan. Mereka berdalil dengan riwayat Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah, dari Anas, “Sesungguhnya Rasulullah Saw tidak membaca doa Qunut dalam shalat Shubuh, kecuali untuk mendoakan yang baik atau yang tidak baik (laknat) untuk mereka”.

Mazhab Maliki dan Syafi’i: disyariatkan. Dalil mereka adalah riwayat jamaah ahli hadits, kecuali Imam at-Tirmidzi, bahwa Anas bin Malik ditanya, “Apakah Rasulullah Saw membaca doa Qunut dalam shalat Shubuh?”. Beliau menjawab, “Ya”. Dan diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bazzar, ad-Daraquthni, al-Baihaqi, al-Hakim, dinyatakan shahih oleh al-Hakim, dari Anas, ia berkata, “Rasulullah Saw terus menerus membaca doa Qunut dalam shalat Shubuh hingga beliau meninggal dunia”.
Pembahasan dalil-dalil ini dan penjelasan tarjih-nya dapat merujuk kitab Zad al-Ma’ad karya Ibnu al-Qayyim yang setelah membahas beberapa riwayat beliau menjelaskan bahwa ahli hadits bersikap pertengahan antara mereka yang mengingkari Qunut secara mutlak bahkan ketika terjadi bencana dan diantara mereka yang menganggap baik Qunut secara mutlak, baik ketika terjadi bencana atau pun tidak terjadi bencana. Ahli hadits tidak mengingkari orang-orang yang terus menerus berqunut dan tidak membenci perbuatan mereka tersebut, mereka tidak menganggapnya sebagai bid’ah dan pelakunya tidak dianggap sebagai pelaku perbuatan yang bertentangan dengan Sunnah. Ahli hadits juga tidak mengingkari orang-orang yang mengingkari Qunut meskipun ketika terjadi bencana. Ahli hadits tidak menganggap orang-orang yang tidak mau berqunut itu bid’ah dan bertentangan dengan Sunnah. Akan tetapi, siapa yang berqunut, maka ia telah berbuat baik dan orang yang tidak mau berqunut juga telah berbuat baik, ini termasuk khilaf yang dibolehkan, khilaf yang tidak perlu bersikap keras di dalamnya, apakah melakukannya atau pun tidak melakukannya. Sama seperti masalah apakah mengangkat kedua tangan atau tidak mengangkat kedua tangan dalam shalat. Saya katakan, “Khilaf dalam masalah ini sangat sederhana, khilaf dalam masalah sunnat, bukan wajib dan agama itu memberikan kemudahan”.
Imam Ahmad dan beberapa pengarang kitab as-Sunan meriwayatkan dari Abu Malik al-Asyja’i bahwa ia mengatakan Qunut Shubuh itu bid’ah, karena ia melaksanakan shalat Shubuh di belakang Rasulullah Saw, Abu Bakar, Umar dan Ali, semua mereka tidak berqunut. Ad-Daraquthni meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata, “Qunut pada shalat Shubuh itu bid’ah”.
Dapat digabungkan antara riwayat-riwayat yang menyatakan adanya Qunut Shubuh dan riwayat-riwayat yang menafikannya, bahwa mereka yang menjadi sumber riwayat ini terkadang berqunut dan terkadang tidak berqunut, karena Qunut itu sunnat , bukan wajib. Sebagaimana diketahui bersama bahwa riwayat yang menyatakan ada lebih didahulukan daripada riwayat yang menafikan. Jika sebagian shahabat tidak berqunut karena karena tidak melihat Rasulullah Saw berqunut, maka sesungguhnya tidak melihat itu tidak menunjukkan nafi secara mutlak. Ibnu Hazm menyatakan bahwa Ibnu Mas’ud yang tidak berqunut, ia tidak mengetahui riwayat tentang meletakkan dua tangan diatas lutut ketika ruku’. Dan Ibnu Umar yang menyatakan tidak mendapatkan riwayat dari salah seorang shahabat tentang Qunut Shubuh, sebagaimana riwayat al-Baihaqi, ia tidak mengetahui riwayat tentang mengusap dua sepatu Khuff.
Ini tentang Qunut Shubuh, adapun Qunut Witir, maka hukumnya sunnat menurut Mazhab Syafi’i, dibaca pertengahan kedua di bulan Ramadhan. Adapun selain waktu ini, terdapat perbedaan pendapat:

Mazhab Hanbali: Qunut itu sunnat pada shalat Witir pada satu rakaat, di sepanjang tahun.

Mazhab Maliki dan Syafi’i: tidak disunnatkan. Satu riwayat dari Imam Ahmad juga menyatakan demikian.

Mazhab Hanafi: sunnat dilakukan sepanjang tahun.
Ibnu Taimiah berkata dalam Majmu’ Fatawa, jilid 22, halaman 264 – 269: adapun Qunut Witir, ada tiga pendapat ulama:
Pertama, tidak dianjurkan sama sekali, karena tidak ada riwayat dari Rasulullah Saw bahwa beliau membaca doa Qunut dalam shalat Witir.
Kedua, dianjurkan di sepanjang tahun, sebagaimana riwayat dari Ibnu Mas’ud dan lainnya. Karena dalam kitab-kitab as-Sunan disebutkan bahwa Rasulullah Saw mengajarkan doa kepada al-Hasan bin Ali, doa yang dibaca dalam Qunut Witir.
Ketiga, Qunut dibaca pada pertengahan kedua (akhir) Ramadhan, sebagaimana yang dilakukan oleh Ubai bin Ka’ab.

Qunut Nawazil disyariatkan dalam shalat selain shalat Shubuh. Imam an-Nawawi berkata –beliau bermazhab Syafi’i-, “Dalam masalah ini ada tiga pendapat. Menurut pendapat yang shahih dan masyhur yang dipegang oleh jumhur ulama bahwa Qunut Nawazil disyariatkan dalam semua shalat, selama ada bencana. Jika tidak ada bencana, maka tidak dibaca doa Qunut Nawazil. Menurut Mazhab Maliki, jika dibaca, maka shalat tidak batal, hanya makruh.
Qunut Nawazil dibaca setelah ruku’, demikian menurut Mazhab Syafi’i dan Hanbali dan dalam satu riwayat dari Imam Ahmad beliau berkata, “Menurut saya setelah ruku’. Jika dibaca sebelum ruku’, maka tidak mengapa”.
Menurut Mazhab Maliki dan Hanafi: Qunut Nawazil dibaca sebelum ruku’.
Menurut Mazhab Syafi’i: doa Qunut boleh dengan kalimat apa pun yang mengandung doa dan pujian, seperti:
 Ya Allah, ampunilah aku wahai Maha Pengampun”.

Doa Qunut yang paling afdhal adalah:
 Ya Allah, berilah hidayah kepadaku seperti orang-orang yang telah Engkau beri hidayah. Berikanlah kebaikan kepadaku seperti orang-orang yang telah Engkau beri kebaikan. Berikan aku kekuatan seperti orang-orang yang telah Engkau beri kekuatan. Berkahilah bagiku terhadap apa yang telah Engkau berikan. Peliharalah aku dari kejelekan yang Engkau tetapkan. Sesungguhnya Engkau menetapkan dan tidak ada sesuatu yang ditetapkan bagi-Mu. Tidak ada yang merendahkan orang yang telah Engkau beri kuasa dan tidak ada yang memuliakan orang yang Engkau hinakan. Maka Suci Engkau wahai Tuhan kami dan Engkau Maha Agung”.
Diriwayatkan dari al-Hasan bin Ali bahwa Rasulullah Saw mengajarkan doa ini kepadanya, sebagaimana yang diriwayatkan Abu Daud, an-Nasa’i, at-Tirmidzi dan lainnya. At-Tirmidzi berkata, “Hadits Hasan. Tidak diketahui ada hadits yang lebih baik daripada ini diriwayatkan dari Rasulullah Saw”.
Lafaz pilihan menurut Mazhab Hanafi adalah sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Mas’ud dan Umar:
 Ya Allah, sesungguhnya kami memohon pertolongan kepada-Mu, memohon hidayah kepada-Mu, memohon ampun kepada-Mu, beriman kepada-Mu, bertawakkal kepada-Mu, memuji-Mu dan tidak kafir kepada-Mu. Kami melepaskan diri dan meninggalkan orang yang berbuat dosa kepada-Mu. Ya Allah, kepada-Mu kami menyembah, kepada-Mu kami shalat dan bersujud. Kepada-Mu kami bersegera dalam beramal dan berbuat kebaikan. Kami mengharap rahmat-Mu dan takut kepada azab-Mu. Sesungguhnya azab-Mu yang sangat keras menyertai orang-orang kafir”.
Imam Nawawi berkata: “Dianjurkan menggabungkan antara doa Qunut riwayat Umar dengan doa Qunut riwayat al-Hasan. Jika tidak mampu, maka cukup membaca doa Qunut riwayat al-Hasan. Disunnatkan membaca shalawat kepada nabi setelah membaca doa Qunut.
30 Fatawa al-Azhar, juz. IX, hal. 5 [Maktabah Syamilah].
Penyusun dan Penterjemah.
H. Abdul Somad, Lc., MA


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.