Jumat, 26 Januari 2018

Isbal (Pakaian Menutup Mata Kaki)



Isbal (Pakaian Menutup Mata Kaki)18.
Fatwa Syekh DR. Ali Jum’ah.
Pertanyaan:
Apakah hukum memanjangkan pakaian (menutupi mata kaki)?

Jawaban:
Al-Isbal dari kata as-Sabal artinya bulir. Asbala az-Zar’u artinya tanaman itu mengeluarkan bulirnya. Asbala al-Matharu artinya air hujan turun. Asbala ad-Dam’u artinya air mata menetes. Asbala Izarahu artinya si fulan mengulurkan pakaiannya. As-sabalu adalah penyakit pada mata yang menyerupai katarak, seperti sarang laba-laba dengan selaput berwarna merah. As-Sabil adalah jalan. Dalam bentuk mudzakkar dan mu’annats.
Yang dimaksud disini adalah makna Isbal secara khusus, yaitu berkaitan dengan pakaian. Artinya seseorang memanjangkan pakaiannya dan menyeretnya diatas tanah. Atau membiarkannya terjuntai dari atas kepala tanpa memakainya. Ini makruh dilakukan dalam shalat, karena menyerupai orang Yahudi dan tidak menutup aurat.
Pada zaman dahulu memanjangkan pakaian adalah salah satu tanda keangkuhan dan kesombongan. Perbuatan ini termasuk dosa besar. Tergolong dosa hati yang menyebabkan penyakit hati dan merusak kehidupan. Hingga orang-orang shaleh mengatakan, “Berapa banyak perbuatan maksiat menyebabkan kerendahan, lebih baik daripada ketaatan yang menyebabkan keangkuhan”.
Mengaitkan Isbal dengan keangkuhan secara syara’ berdasarkan hadits Rasulullah Saw:
Siapa yang memanjangkan pakaiannya karena keangkuhan, maka Allah Swt tidak akan melihatnya pada hari kiamat”. Abu Bakar berkata, “Sesungguhnya salah satu bagian pakaianku panjang, hanya saja aku tidak melakukannya sengaja”. Rasulullah Saw berkata, “Engkau tidak melakukan itu karena keangkuhan”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Jadi sebenarnya memanjangkan pakaian ke lantai tidaklah haram, yang diharamkan hanyalah keangkuhan yang menjadi tujuannya. Indikasi bahwa memanjangkan pakaian itu adalah pertanda keangkuhan telah ada dalam tradisi kaum pada zaman Rasulullah Saw. Oleh sebab itu para ulama sepakat haram hukumnya angkuh dan sombong, apakah terkait dengan pakaian atau pun tidak. Mereka berbeda pendapat tentang hukum memanjangkan pakaian, jika disebabkan keangkuhan, maka haram disebabkan keangkuhan tersebut. Jika tidak karena keangkuhan, maka tidak diharamkan.

Para ulama memakruhkannya karena menyerupai perbuatan orang yang angkuh. Karena orang-orang yang angkuh pada masa itu melakukan perbuatan seperti ini, oleh sebab itu menyerupai perbuatan mereka meskipun tanpa ada niat menyombongkan diri tetap dimakruhkan. Adapun dengan niat untuk keangkuhan, maka hukumnya haram, sebagaimana yang telah kami sebutkan diatas.
Inilah pendapat para ulama dan disebutkan para imam secara nash. Syekh al-Buhuti berkata, “Jika seseorang memanjangkan pakaiannya karena keperluan, seperti menutupi betis yang jelek, tanpa ada niat keangkuhan, maka itu dibolehkan”. Imam Ahmad bin berkata dalam satu riwayat, “Memanjangkan pakaian dan selendang dalam shalat, jika tidak untuk keangkuhan, maka tidak mengapa (boleh)”19.

Imam asy-Syaukani berkata, “Ikatan yang jelas dengan menggunakan kata “Keangkuhan”, ini menunjukkan pemahaman bahwa memanjangkan pakaian tanpa niat keangkuhan tidak termasuk dalam ancaman ini. Ibnu Abdilbarr berkata, “Pemahamannya bahwa orang yang memanjangkan pakaian tanpa niat keangkuhan, tidak tergolong dalam ancaman ini. Hanya saja perbuatan itu tidak baik”. Imam an-Nawawi berkata, “Perbuatan itu makruh. Ini dinyatakan Imam Syafi’I secara nash”. Al-Buwaithi berkata dalam Mukhtasharnya dari Imam Syafi’I, “Tidak boleh memanjangkan pakaian dalam shalat atau pun di luar shalat, jika untuk keangkuhan. Jika tidak untuk keangkuhan, maka ada keringanan. Berdasarkan ucapan Rasulullah Saw kepada Abu Bakar”20.
Memanjangkan pakaian bukan untuk keangkuhan, maka tidak mengapa, itu dibolehkan, sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Yang diharamkan adalah untuk keangkuhan dan kesombongan, meskipun tidak terkait dengan memanjangkan pakaian. Inilah pendapat yang kuat. Tradisi telah berubah, memanjangkan pakaian tidak lagi menjadi tradisi dan kebiasaan orang-orang yang menyombongkan diri di zaman kita sekarang ini. Oleh sebab itu memanjangkan pakaian pada zaman sekarang ini tidak dapat dikatakan menyerupai orang-orang yang sombong. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.

18 Syekh DR. Ali Jum’ah, Al-Bayan li ma Yusyghil al-Adzhan, (Cet. I; Kairo: al-Muqaththam, 1426H/2005M), hal. 328.
19 Al-Buhuti, Kasysyaf al-Qina’, juz. I, hal. 276.
20 Asy-Syaukani, Nail al-Authar, juz. I, hal. 112.
Penyusun dan Penterjemah.
H. Abdul Somad, Lc., MA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.