Isbal (Pakaian
Menutup Mata Kaki)18.
Fatwa Syekh DR. Ali Jum’ah.
Pertanyaan:
Apakah hukum memanjangkan pakaian (menutupi mata kaki)?
Jawaban:
Al-Isbal
dari kata as-Sabal
artinya bulir. Asbala
az-Zar’u artinya tanaman itu mengeluarkan
bulirnya. Asbala al-Matharu artinya air hujan turun. Asbala ad-Dam’u artinya air mata menetes. Asbala Izarahu artinya si fulan mengulurkan pakaiannya. As-sabalu
adalah penyakit pada mata yang menyerupai
katarak, seperti sarang laba-laba dengan selaput berwarna merah. As-Sabil
adalah jalan. Dalam bentuk mudzakkar
dan mu’annats.
Yang dimaksud disini adalah makna Isbal
secara khusus, yaitu berkaitan dengan
pakaian. Artinya seseorang memanjangkan pakaiannya dan menyeretnya diatas
tanah. Atau membiarkannya terjuntai dari atas kepala tanpa memakainya. Ini
makruh dilakukan dalam shalat, karena menyerupai orang Yahudi dan tidak menutup
aurat.
Pada zaman dahulu memanjangkan pakaian adalah salah satu tanda
keangkuhan dan kesombongan. Perbuatan ini termasuk dosa besar. Tergolong dosa
hati yang menyebabkan penyakit hati dan merusak kehidupan. Hingga orang-orang
shaleh mengatakan, “Berapa banyak perbuatan maksiat menyebabkan kerendahan,
lebih baik daripada ketaatan yang menyebabkan keangkuhan”.
Mengaitkan Isbal dengan keangkuhan secara syara’ berdasarkan hadits Rasulullah Saw:
“Siapa yang memanjangkan pakaiannya
karena keangkuhan, maka Allah Swt tidak akan melihatnya pada hari kiamat”. Abu Bakar berkata, “Sesungguhnya salah satu bagian
pakaianku panjang, hanya saja aku tidak melakukannya sengaja”. Rasulullah Saw berkata, “Engkau
tidak melakukan itu karena keangkuhan”. (HR.
al-Bukhari dan Muslim).
Jadi sebenarnya memanjangkan pakaian ke lantai tidaklah haram, yang
diharamkan hanyalah keangkuhan yang menjadi tujuannya. Indikasi bahwa
memanjangkan pakaian itu adalah pertanda keangkuhan telah ada dalam tradisi
kaum pada zaman Rasulullah Saw. Oleh sebab itu para ulama sepakat haram
hukumnya angkuh dan sombong, apakah terkait dengan pakaian atau pun tidak.
Mereka berbeda pendapat tentang hukum memanjangkan pakaian, jika disebabkan
keangkuhan, maka haram disebabkan keangkuhan tersebut. Jika tidak karena
keangkuhan, maka tidak diharamkan.
Para ulama memakruhkannya karena menyerupai perbuatan orang yang
angkuh. Karena orang-orang yang angkuh pada masa itu melakukan perbuatan
seperti ini, oleh sebab itu menyerupai perbuatan mereka meskipun tanpa ada niat
menyombongkan diri tetap dimakruhkan. Adapun dengan niat untuk keangkuhan, maka
hukumnya haram, sebagaimana yang telah kami sebutkan diatas.
Inilah pendapat para ulama dan disebutkan para imam secara nash. Syekh al-Buhuti berkata, “Jika seseorang memanjangkan pakaiannya
karena keperluan, seperti menutupi betis yang jelek, tanpa ada niat keangkuhan,
maka itu dibolehkan”. Imam Ahmad bin berkata dalam satu riwayat, “Memanjangkan
pakaian dan selendang dalam shalat, jika tidak untuk keangkuhan, maka tidak
mengapa (boleh)”19.
Imam asy-Syaukani berkata, “Ikatan yang jelas dengan menggunakan kata
“Keangkuhan”, ini menunjukkan pemahaman bahwa memanjangkan pakaian tanpa niat
keangkuhan tidak termasuk dalam ancaman ini. Ibnu Abdilbarr berkata,
“Pemahamannya bahwa orang yang memanjangkan pakaian tanpa niat keangkuhan,
tidak tergolong dalam ancaman ini. Hanya saja perbuatan itu tidak baik”. Imam
an-Nawawi berkata, “Perbuatan itu makruh. Ini dinyatakan Imam Syafi’I secara
nash”. Al-Buwaithi berkata dalam Mukhtasharnya dari Imam Syafi’I, “Tidak boleh
memanjangkan pakaian dalam shalat atau pun di luar shalat, jika untuk
keangkuhan. Jika tidak untuk keangkuhan, maka ada keringanan. Berdasarkan
ucapan Rasulullah Saw kepada Abu Bakar”20.
Memanjangkan pakaian bukan untuk keangkuhan, maka tidak mengapa, itu
dibolehkan, sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Yang
diharamkan adalah untuk keangkuhan dan kesombongan, meskipun tidak terkait
dengan memanjangkan pakaian. Inilah pendapat yang kuat. Tradisi telah berubah,
memanjangkan pakaian tidak lagi menjadi tradisi dan kebiasaan orang-orang yang
menyombongkan diri di zaman kita sekarang ini. Oleh sebab itu memanjangkan
pakaian pada zaman sekarang ini tidak dapat dikatakan menyerupai orang-orang
yang sombong. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.
18 Syekh DR.
Ali Jum’ah, Al-Bayan li ma Yusyghil al-Adzhan, (Cet. I; Kairo: al-Muqaththam, 1426H/2005M), hal. 328.
19 Al-Buhuti, Kasysyaf
al-Qina’, juz. I, hal. 276.
20 Asy-Syaukani,
Nail al-Authar, juz. I, hal. 112.
Penyusun dan Penterjemah.
H. Abdul Somad, Lc., MA
H. Abdul Somad, Lc., MA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.