Zakat
Fithrah Dalam Bentuk Uang36.
Fatwa Syekh
DR. Ali Jum’ah.
Pertanyaan:
Apakah boleh membayar zakat fitrah dalam
bentuk uang?
Jawaban:
Boleh membayar zakat fitrah dalam bentuk
uang. Ini adalah mazhab sekelompok ulama yang diamalkan, juga mazhab sekelompok
Tabi’in, diantara mereka adalah al-Hasan al-Bashri. Diriwayatkan bahwa ia
berkata, “Boleh memberikan Dirham (uang perak) dalam zakat Fitrah”. (Ibnu Abi
Syaibah dalam al-Mushannaf, juz. III, hal. 174).
Abu Ishaq as-Sabi’i37 meriwayatkan dari Zuhair, ia berkata:
saya mendengar Abu Ishaq berkata, “Saya bertemu dengan mereka, mereka membayar
zakat Fitrah dalam bentuk Dirham senilai harga makanan”38.
Umar bin Abdul Aziz, dari Waki’, dari
Qurrah, ia berkata, “Surat dari Umar bin Abdul Aziz datang kepada kami tentang
zakat Fitrah, “Setengah Sha’ untuk setiap orang. Atau nilainya
setengah Dirham”39. Demikian juga
menurut pendapat ats-Tsauri, Abu Hanifah dan Abu Yusuf.
Membayar zakat dalam bentuk uang adalah
mazhab Hanafi, mereka melaksanakannya dalam semua zakat, kafarat, nazar, kharaj dan lainnya40. Juga menurut mazhab Imam an-Nashir dan
al-Mu’ayyid Billah dari kalangan imam Ahli Bait golongan az-Zaidiyyah41.
Demikian juga menurut Ishaq bin Rahawaih
dan Abu Tsaur, hanya saja mereka mengikatnya dengan kondisi darurat,
sebagaimana mazhab sebagian lain dari kalangan Ahli Bait42. Maksud saya,boleh membayar zakat Fitrah
dalam bentuk uang dalam keadaan darurat. Mereka menjadikannya sebagai: imam
menuntut pembayaran dalam bentuk uang sebagai ganti nash.
Membayar zakat fitrah dalam bentuk uang
adalah pendapat sekelompok ulama dari kalangan Mazhab Maliki seperti Ibnu
Habib, Ashbagh, Ibnu Abi Hazim, Ibnu Dinar43dan Ibnu Wahab44,
diriwayatkan dari mereka tentang boleh hukumnya membayar zakat dalam bentuk
uang, apakah zakat Mal maupun zakat Fitrah. Berbeda dengan yang
mereka riwayatkan dari Ibnu al-Qasim dan Asy-hab, mereka berdua membolehkan
membayar zakat dengan uang, kecuali pada zakat Fitrah dan kafarat sumpah.
Berdasarkan riwayat diatas kita dapat
mengetahui sejumlah imam dan Tabi’in serta para ahli Fiqh berpendapat bahwa
boleh membayar zakat dalam bentuk uang, ini pada masa mereka di zaman dahulu
yang masih menggunakan system barter, artinya semua benda layak dijadikan
sarana tukar-menukar transaksi jual beli, khususnya biji-bijian. Mereka menjual
gandum jenis Qamh dengan gandum jenis Sya’ir, jagung dengan gandum dan lainnya.
Sedangkan pada zaman kita sekarang ini sarana transaksi jual beli hanya
terbatas pada uang saja. Maka menurut kami pendapat ini lebih tepat dan lebih
kuat. Bahkan kami nyatakan, andai ulama yang tidak sependapat dengan ini pada
masa silam hidup di zaman sekarang ini, pastilah mereka akan berpendapat
seperti pendapat Imam Abu Hanifah. Terlihat jelas bagi kita bagaimana pemahaman
dan kekuatan akal mereka.
Mengeluarkan zakat Fitrah dalam bentuk
uang lebih utama untuk memberikan kemudahan kepada fakir miskin untuk membeli
apa saja yang mereka inginkan pada hari raya, karena boleh jadi mereka tidak
membutuhkan biji-bijian, akan tetapi membutuhkan pakaian, atau daging, atau
selain itu. Memberikan biji-bijian memaksa mereka untuk berkeliling di
jalan-jalan agar ada orang lain yang mau membelinya, terkadang mereka
menjualnya dengan harga yang sangat murah, kurang dari semestinya. Semua ini
berlaku pada kondisi mudah; ada banyak biji-bijian di pasar. Sedangkan pada
kondisi sulit, tidak ada biji-bijian di pasar, maka membayar zakat Fitrah dalam
bentuk benda lebih utama daripada dalam bentuk uang, untuk menjaga maslahat
fakir miskin.
Hukum asal disyariatkannya zakat Fitrah
adalah untuk kepentingan fakir miskin dan mencukupkan kebutuhan mereka pada
hari raya, hari kebahagiaan kaum muslimin. Imam al-‘Allamah Ahmad bin ash-Shiddiq
al-Ghumari menyusun satu kitab dalam masalah ini berjudul Tahqiq al-Amal fi Ikhraj Zakat al-Fithr
bi al-Mal, dalam kitab
ini beliau menguatkan pendapat Mazhab Hanafi dengan dalil-dalil dan pendapat
yang banyak, mencapai tiga puluh dua pendapat. Oleh sebab itu pendapat kami
men-tarjih-kan pendapat yang menyatakan:
mengeluarkan zakat Fitrah dalam bentuk nilai/harga/uang. Ini lebih utama di
zaman sekarang ini. Wallahu
Ta’ala A’la wa A’lam.
36 Syekh DR. Ali Jum’ah, Al-Bayan
li ma Yusyghil al-Adzhan, (Cet. I; Kairo: al-Muqaththam,
1426H/2005M), hal. 262.
37 Beliau adalah Abu Ishaq as-Sabi’i
al-Hamadani al-Kufi. Seorang al-Hafizh dan guru besar di Kufah. Imam
adz-Dzahabi berkata, “Beliau adalah salah seorang ulama yang mengamalkan
ilmunya. Salah seorang Tabi’in yang mulia”. Ia berkata tentang dirinya, “Saya
dilahirkan dua tahun terakhir masa kekhalifahan Utsman. Saya pernah melihat Ali
bin Abi Thalib berkhutbah”. Lihat biografinya dalam Siyar
A’lam an-Nubala’ karya adz-Dzahabi, juz. V, hal. 392 –
401, no. 180.
38 Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannaf, juz. II, hal. 398.
39 Abdurrazzaq, al-Mushannaf, juz. III, hal.
316, no. 5778.
40 Lihat: Bada’i’
ash-shana’i’ karya al-Kasani, juz. II,hal. 979; al-Mabsuth
karya as-Sarakhsi, juz. III, hal. 113 –
114.
41 Sebagaimana disebutkan dalam al-Bahr
az-Zakhkhar al-Jami’ li Madzahib ‘Ulama’ al-Amshar, Ahmad bin Yahya al-Murtadha, juz. III, hal. 202 – 203.
42 Lihat as-Sail
al-Jawwar al-Mutadaffaq ‘ala Hada’iq al-Azhar, asy-Syaukani, juz. II, hal. 86.
43 Beliau adalah Abu Muhammad Isa bin Dinar
bin Wahab al-Qurthubi, ahli Fiqh, ahli ibadah. Mendengar dari Ibnu al-Qasim,
bersahabat dengannya dan belajar kepadanya. Beliau memiliki dua puluh kitab
hasil mendengar ilmu dari Ibnu al-Qasim. Wafat di Thulaithulah tahun 212H.
diringkas dari Syajarat an-Nur az-Zakiyyah, hal. 64, no. 47.
44 Beliau adalah seorang ulama yang mulia,
ahli hadits, Abu Muhammad Abdullah bin Wahab bin Muslim al-Qurasyi, Mawla
Quraisy. Orang yang paling terpercaya dalam riwayat dari Imam Malik. Seorang
hafizh, hujjah. Imam al-Bukhari meriwayatkan hadits darinya. Wafat di Mesir pada
tahun 197H. Syajarat an-Nur az-Zakiyyah, hal. 58 – 59, no. 25.
Penyusun dan Penterjemah.
H. Abdul Somad, Lc., M
H. Abdul Somad, Lc., M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.