Senin, 29 Agustus 2016

P O L I G A M I




Sebelum berbicara poligami,kita harus mengerti apa itu poligami.Istilah poligami harus dibuka secara luas agar dapat dimengerti dan dipahami oleh kita semua,baik lelaki atau perempuan.
 

Kita harus meletakkan persoalan poligami pada ajaran yang diajarkan oleh Allah Swt.Poligami yang dimaksutkan Allah Swt adalah dalam rangka memuliakan wanita,menjaga kaum wanita,menjaga melebarnya jurang kemiskinan,memuliakan anak yatim,menjaga moral rusak wanita,dan menjaga anarkis seks terhadap wanita.
 

Apabila hal-hal tersebut terjadi pada wanita,maka satu-satunya jalan yang memberikan solusi adalah Agama Islam.Boleh jadi agama lain melarang,namun ini adalah solusi halal yang diajarkan oleh Allah melalui Alquran.Haram disatu tempat bisa jadi sunnah di tempat lain.Niat-niat itulah yang harus dijalani oleh pria jika ingin berpoligami.

Hal itu dapat diambil dengan benar dan bukan untuk main-main,jika kaum ibu atau kebanyakan orang menentang atau mengharamkan poligami yang diajarkan Allah Swt,maka hal itu bisa disebut kafir.
Namun,tetap pada satu konteks atau tujuan,poligami yang dijalankan benar-benar atas ketentuan yang diajarkan oleh Allah.Andai kata masyarakat sekarang ramai membicarakan tentang poligami,saya sangat menyayangkan kondisi itu,sebab,mereka terlalu fokus dan asyik membahas tentang sosok orang berpoligami,seharusnya,mereka membahasnya dengan hukum poligami.

Poligami akan menjadi haram dan berdosa jika didalamnya melanggar apa yang diajarkan Allah.Jika itu terjadi,sama saja artinya melakukan kekerasan terhadap wanita.Misalnya,terjadi ketidak adilan.
Pesan saya kepada ibu-ibu,agar memahami arti sebenarnya berpoligami.Jangan menghakimi sendiri.Selama kaum pria menjalaninya sesuai dengan ketentuan Allah,persilakan saja.Dan,pesan saya pada para laki-laki,agar tidak menyalah gunakan arti poligami dengan kepentingannya.Jika itu terjadi,Allah akan lebih murka pada lelaki seperti itu.

Poinnya adalah,tidak ada alasan seorang suami berpoligami jika sang istri telah sempurna.Dan,saya juga sangat menyayangkan kenapa poligami begitu diributkan.Sedangkan istri simpanan dan seks diluar nikah seakan-akan sudah menjadi kebiasaan dan tidak dipersoalkan.
Kalau mau jujur,banyak sekali lelaki yang mempunyai istri simpanan atau malakukan seks diluar nikah.Mengenai undang-undang yang ada saat ini,saya rasa sudah cukup,tinggal pelaksanaannya yang harus diperhatikan.Pemerintah tidak perlu panik untuk membuat atau merevisi undang-undang yang telah ada.
by K.H.Anwar Sanusi


MUI Nilai Keputusan MK Soal Status Anak di Luar Nikah Overdosis

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal status anak di luar nikah memicu perdebatan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai keputusan MK tersebut melampaui batas. Alasannya, keputusan itu bertentangan dengan ajaran agama Islam dan pasal 29 UUD 1945.

"Putusan MK itu telah melampaui permohonan yang sekedar menghendaki pengakuan keperdataan atas anak dengan bapak hasil perkawinan tapi tidak dicatatkan kepada KUA menjadi meluas mengenai hubungan keperdataan atas anak hasil hubungan zina dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya," ujar Ketua MUI, KH Ma'ruf Amin dalam jumpa pers di kantor MUI, Jalan Proklamasi no 51, Menteng, Jakarta, Selasa (13/3/2012).

Jumpa pers itu digelar untuk menanggapi putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang pengujian UU Nomor 1 Tahun 1774 tentang Perkawian.

Ma'ruf menilai putusan MK tersebut sangat berlebihan, melampaui batas dan bersifat overdosis. Menurutnya, putusan MK ini berdampak konsekuensi yang luas termasuk mengesahkan hubungan nasab, waris, wali, dan nafkah antara anak hasil zina dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya.

Menurut Ma'ruf, hal ini tidak dibenarkan oleh ajaran Islam. "Akibat nyata putusan MK, kedudukan anak hasil zina dijadikan sama dengan kedudukan anak yang lahir dari hubungan perkawinan yang sah, baik dari segi kewajiban dan perolehan nafkah, terutama hak waris," cetus Ma'ruf.

Sehingga jelaslah putusan MK ini menjadikan lembaga perkawinan menjadi kurang relevan.

Namun Ma'ruf menegaskan, tidak ada diskriminasi terhadap anak hasil zina. "Karena memang hukumnya anak hasil zina itu beda dengan anak hasil perkawinan sah. Kalau anak hasil perkawinan sah mempunyai hubungan dengan bapak dan ibunya. Tapi anak hasil zina hanya punya hubungan dengan ibunya. Begitu hukum agamanya," pungkas Ma'ruf.

Terkait masalah Machica Mokhtar, Ma'ruf mengatakan, hukum kasusnya berbeda. "Karena anak Machica bukan hasil zina, melainkan pernikahan siri atau di bawah tangan. Yang mana hal ini hukumnya (dalam Islam) disamakan dengan yang nikah tercatat di KUA," pungkas Ma'ruf.

MK membuat keputusan revolusioner pada Jumat 12 Februari 2012. MK menyatakan pasal 43 ayat (1) UU No 1/1974 tentang Perkawinan diubah dan menjadi "anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya".

Dengan putusan ini, maka anak hasil nikah siri atau pun di luar nikah berhak mendapatkan hak-haknya dari sang ayah seperti biaya hidup, akte lahir hingga warisan.


Majelis Mujahidin: Putusan MK tentang Anak di Luar Nikah Dorong Perzinaan

Jakarta Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan putusan ayah biologis harus bertanggungjawab atas hak-hak anak di luar nikah bukan berarti melegalkan perzinaan. Tetapi masyarakat masih mempertanyakan dengan keras putusan yag cukup revolusioner tersebut.

"Keputusan MK tentang perubahan UU No 1/1974 tentang Perkawinan Pasal 43 ayat (1) telah menodai keyakinan umat beragama di Indonesia. Tidak ada satupun agama yang menyatakan bahwa anak hasil hubungan diluar pernikahan seperti zina, kumpul kebo atau samen leven mempunyai kedudukan keperdataan yang sama dengan anak hasil pernikahan," kata Amir Majelis Mujahidin Indonesia, Muhammad Thalib dalam siaran pers yang diterima detikcom, Rabu (7/3/2012).

Menurut ormas yang bermarkas di Yogyakarta ini, selain itu kebebasan melaksanakan syari’at agama yang dijamin dan dilindungi UUD 45 Pasal 29 ayat (1) dan (2) telah direduksi oleh keputusan MK tersebut.

"Bahkan dampak buruk keputusan ini, dapat memfasilitasi kebejatan moral, prostitusi, wanita simpanan, pasangan selingkuh. Jika hamil dan melahirkan anak, mereka tidak perlu khawatir karena hak perdata mereka dilindungi oleh keputusan MK ini. Sementara itu ahli waris pihak laki-laki pelaku hubungan seks di luar nikah akan terzalimi karena hak-haknya terampas disebabkan perbuatan yang tidak mereka lakukan," ujar Thalib.

Majelis Mujahiddin mengakui jika keputusan MK ini memang revolusioner yaitu melindungi kebejatan moral. Tetapi Majelis mempertanyakan untuk kepentingan siapa sesungguhnya adanya UU tersebut.

"Majelis Mujahidin menilai MK tidak cermat lagi memberikan keputusan yang mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat beragama, dan lebih condong kepada paham sekularisasi hukum tanpa meminta pendapat dan saran para ahli dalam bidang agama Islam khususnya," terang Thalib.

Sebelumnya, MK menyatakan bahwa putusan tersebut sama sekali tidak bermaksud untuk melegalkan perzinaan. "Putusan ini tidak terkait sah atau tidaknya perkawianan. Tetapi hanya untuk memberikan perlindungan hak keperdataan anak. Putusan ini tidak melegalkan adanya perzinaan. Harus dipahami antara memberikan perlindungan terhadap anak dan persoalan perzinaan merupakan dua rezim hukum yang berbeda," kata hakim konstitusi, Ahmad Fadlil Sumadi, dalam jumpa pers di MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Rabu (7/3/2012).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.