Sabtu, 28 April 2018

Dalil Pembagian Bid’ah






Dalil Pembagian Bid’ah
Pembagian bid’ah yang secara umum menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, dan secara detil terbagi menjadi lima, seperti dikemukakan di atas memiliki banyak dalil. Baik dalil dari al-Qur’an maupun dari hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagian ulama mengatakan, dalil bid’ah hasanah lebih dari 350 hadits. Berikut di antara dalil-dalil tersebut:

Dalil al-Qur’an
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman dalam al-Qur’an,
Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. (QS al-Hadid : 27).

Dalam ayat di atas, Allah memuji Bani Israil yang mengikuti Nabi Isa ‘alaihissalam, karena mengada-adakan rahbaniyyah, yaitu mengamalkan kerahiban, untuk mencari keridhaan Allah, padahal Allah tidak mewajibkan hal itu kepada mereka. Lalu Allah mencela mereka, karena di kemudian hari mereka tidak memelihara tradisi tersebut dengan semestinya. Dengan demikian, berarti ayat tersebut mengakui bid’ah hasanah. Allah mencela Bani Israil justru karena meninggalkan bid’ah yang mereka ada-adakan. 

Dan tidak mencela ketika mereka mengada-adakan dan melakukannya. Berkaitan dengan ayat tersebut, sahabat Abu Umamah al-Bahili radhiyallaahu ‘anhu berkata:
Abu Umamah radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya Allah mewajibkan kepada kalian puasa Ramadhan, dan tidak mewajibkan qiyam Ramadhan (menghidupkan malam Ramadhan). Qiyam Ramadhan hanyalah sesuatu yang kalian ada-adakan, maka teruskanlah kalian melakukan dan janganlah kalian meninggalkannya. Karena sesungguhnya sekelompok manusia dari Bani Israil, membuat-buat bid’ah yang Allah tidak mewajibkannya kepada mereka, untuk mencari keridhaan Allah dengannya, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Allah mencela mereka sebab meninggalkannya. Allah berfirman, “Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya.” (QS al-Hadid : 27). (Hadits shahih riwayat Ibnu Nashr dalam Qiyam Ramadhan dan Ibnu Mani’. A-Hafizh al-Bushiri berkata dalam Ithaf al-Khiyarah al-Maharah [1722], para perawinya dapat dipercaya.)
Atsar shahih dari pernyataan sahabat Abu Umamah al-Bahili radhiyallaahu ‘anhu, di atas menjelaskan bahwa ayat al-Qur’an dalam QS al-Hadid : 27, di atas mengisyaratkan bahwa al-Qur’an menerima terhadap bid’ah hasanah.

Selain ayat al-Qur’an di atas, terdapat banyak sekali hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi dalil bid’ah hasanah. Antara lain hadits-hadits sebagai berikut:

Hadits Pertama
Hadits Aisyah radhiyallaahu ‘anha,
Dari Aisyah radhiyallaahu ‘anha, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan kami ini sesuatu yang tidak termasuk bagian darinya, maka sesuatu itu tertolak.” ( Hadits shahih riwayat al-Bukhari [2697] dan Muslim [1718], Ibnu Majah [14], Ahmad [26329] dan Ibnu Hibban [29].) Dalam satu riwayat, “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan, yang tidak ada hukum kami di atasnya, maka amalan tersebut tertolak.” ( Hadits shahih riwayat Muslim [1718].)

Hadits shahih di atas memberikan beberapa pengertian berkaitan dengan pembagian bid’ah,
1. Orang yang mengada-adakan, atau memulai suatu amalan dalam agama, yang tidak termasuk bagian dari agama, maka amalan tersebut tertolak. Demikian pengertian hadits tersebut secara tekstual.
2. Orang yang mengada-adakan, atau memulai suatu amalan dalam agama, yang termasuk bagian dari agama, maka amalan tersebut tidak tertolak dan diterima. Demikian pengertian hadits tersebut secara kontekstual.
3. Suatu amalan baru, diketahui termasuk bagian dari agama, atau tidak termasuk bagian dari agama, adalah dengan melihat kaedah-kaedah dan dalil-dalil umum yang terdapat dalam agama. Apabila amalan tersebut menafikan terhadap ajaran agama, atau tidak ada kaedah dan dalil umum yang membenarkannya, maka amalan tersebut tertolak. Akan tetapi apabila amalan baru tersebut tidak menafikan terhadap ajaran agama, dan atau terdapat kaedah dan dalil umum yang membenarkannya, maka amalan tersebut diterima dan dinamakan dengan bid’ah hasanah. (Al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fath al-Mubin bi-Syarh al-Arba’in hlm 221.)
4. Hadits di atas membatasi terhadap jangkauan hukum hadits “semua bid’ah adalah sesat”, sebagaimana akan dibahas pada penjelasan hadits berikut ini.

Hadits Kedua
Hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali radhiyallaahu ‘anhu,
Dari Jarir bin Abdullah radhiyallaahu ‘anhu, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang memulai dalam Islam suatu perbuatan yang baik, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkan setelahnya tanpa kurang sedikit pun dari pahala mereka. Barangsiapa yang memulai dalam Islam perbuatan yang buruk, maka ia akan menanggung dosanya dan dosa orang yang melakukan setelahnya, tanpa kurang sedikit pun dari dosa-dosa mereka.” (Hadits shahih riwayat Muslim [1017].).
Hadits shahih di atas memberikan beberapa pesan berkaitan dengan pembagian bid’ah,
1. Orang yang memulai perbuatan yang baik, yang sebelumnya tidak ada, lalu ia mengadakannya, dalam keadaan Islam, maka ia akan mendapatkan pahala amalan tersebut dan pahala orang-orang yang mengamalkan setelahnya, tanpa kurang sedikit pun dari pahala mereka. Demikian ini disebut dengan bid’ah hasanah.
2. Orang yang memulai perbuatan yang buruk, yang sebelumnya tidak ada, lalu ia memulainya, dalam keadaan Islam, maka ia akan menanggung dosanya dan dosa orang yang melakukan sesudahnya, tanpa kurang sedikit pun dari dosa-dosa mereka. Demikian ini disebut dengan bid’ah sayyi’ah.
3. Kata sanna sunnatan, dalam hadits di atas maksudnya, memulai sesuatu yang belum pernah ada. Sesuai dengan hadits berikut ini:
4.Dari Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada seseorang yang dibunuh secara zalim, kecuali putra Adam yang pertama mendapat bagian dari dosa pembunuhan tersebut, karena ia orang yang pertama kali memulai pembunuhan.” (Hadits riwayat al-Bukhari [7321] dan Muslim [1677].)

1. Hadits di atas dengan tegas dan jelas membagi bid’ah menjadi dua, yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah. Oleh karena itu, al-Imam al-Nawawi berkata mengenai hadits tersebut:
Hadits tersebut mengandung motivasi memulai kebaikan-kebaikan dan memulai perbuatan yang baik, dan peringatan dari mengadakan sesuatu yang batil dan buruk. Dalam hadits ini, membatasi jangkauan hukum terhadap sabda Nabi J, “Setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” Dan bahwa yang dimaksud dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut adalah perkara baru yang batil dan bid’ah yang tercela. Dalam telah berlalu, bahwa bid’ah itu ada lima bagian; yaitu bid’ah yang wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah. (Al-Imam al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim juz 7 hlm 104.)

Penjelasan al-Imam al-Nawawi di atas memberikan kesimpulan bahwa hadits Jarir bin Abdullah radhiyallaahu ‘anhu, membatasi terhadap jangkauan hukum hadits, “semua bid’ah adalah sesat”. Hadits tersebut redaksinya sebagai berikut:
Dari Jabir bin Abdullah radhiyallaahu ‘anhu, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitab Allah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan. Setiap bid’ah adalah sesat.” (Hadits shahih riwayat Muslim [1896].)

Dua hadits di atas memberikan pengertian berbeda. Hadits Jarir bin Abdullah radhiyallaahu ‘anhu, membagi perbuatan baru menjadi dua, yaitu sunnah hasanah dan sunnah sayyi’ah, istilah lain dari bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah. Sementara hadits Jabir bin Abdullah radhiyallaahu ‘anhu berikutnya, mengeluarkan hukum yang bersifat umum, bahwa semua bid’ah adalah sesat. Dua hadits tersebut sama-sama sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang harus diamalkan. Karena itu para ulama menegaskan, bahwa keumuman hadits Jabir bin Abdullah radhiyallaahu ‘anhu dibatasi dengan kekhususan hadits Jarir bin Abdullah radhiyallaahu ‘anhu sebelumnya, agar kedua hadits tersebut sama-sama diamalkan. Menolak bid’ah hasanah, berarti mengamalkan satu hadits saja dan menolak yang satunya. Sedangkan menerima bid’ah hasanah, berarti mengamalkan kedua hadits tersebut. Dalam hal ini al-Imam al-Nawawi berkata:
 “Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “semua bid’ah adalah sesat”, ini adalah kalimat umum yang dibatasi jangkauannya. Maksud kalimat tersebut adalah, sebagian besar bid’ah itu sesat, (bukan seluruhnya).” (Al-Imam al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz 6 hlm 154.)
Oleh karena redaksi hadits “semua bid’ah itu sesat”, adalah redaksi general yang jangkauan hukumnya dibatasi, maka para ulama membagi bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah sayyi’ah (buruk). Lebih rinci lagi, bid’ah itu terbagi menjadi lima bagian sesuai dengan komposisi hukum Islam yang lima; wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Dengan demikian, berarti tidak semua perkara baru, yang belum pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sesat dan dilarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.