Senin, 30 April 2018

MAHAKAM LIFE SAVING RULES (MALISA)



 






12 Aturan Hidup Selamat


Life Saving Rules menetapkan "BOLEH DILAKUKAN" dan "TIDAK BOLEH DILAKUKAN" yang sederhana dan jelas yang mencakup kegiatan dengan risiko keamanan potensial tertinggi. Aturan-aturan ini dibuat dari pelajaran industri dan telah diberlakukan untuk memastikan perilaku yang konsisten diikuti untuk mencegah jenis insiden yang dapat mengakibatkan cedera serius atau kematian.

Minggu, 29 April 2018

TATA CARA PERUBAHAN DATA DALAM BUKU PELAUT




MALAM NISHFU SYA'BAN






MALAM NISHFU SYA'BAN
Setiap malam nishfu Sya’ban, kaum Muslimin di Indonesia meramaikannya dengan beragam tradisi, seperti selamatan bersama, yang disebut dengan istilah ruwahan, menunaikan shalat sunnah baik secara berjamaah maupun sendirian, membaca surat Yasin dan diakhiri dengan doa. Adakah hadits shahih yang dapat dijadikan hujjah dalam menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan aneka ragam amal shaleh? Mengingat kaum Salafi-Wahabi membid’ahkan menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan aneka ragam ibadah.

Jawab: Bulan Sya’ban termasuk salah satu bulan yang agung dalam pandangan syara’. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memuliakan bulan Sya’ban dengan menambah aktifitas ibadah. Sehingga menambah ibadah pada bulan Sya’ban sangat dianjurkan sebagaimana diterangkan dalam hadits shahih. Apabila pada hari-hari bulan Sya’ban dianjurkan meningkatkan aktifitas ibadah dan kebajikan, maka pada malam nishfu Sya’ban lebih dianjurkan lagi karena terdapat banyak hadits yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang keutamaan malam nishfu Sya’ban melebihi hari-hari yang lain pada bulan yang sama. Hadits-hadits tersebut diriwayatkan dari Abdullah bin Amr, Mu’adz bin Jabal, Abu Hurairah, Abu Tsa’labah, Auf bin Malik, Abu Bakar al-Shiddiq, Abu Musa dan Aisyah radhiyallahu ‘anhum.

Hadits Pertama
 “Dari Abdullah bin Amr, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah subhanahu wa ta’ala melihat kepada makhluk-Nya pada malam Nishfu Sya’ban, lalu memberikan ampunan kepada hamba-hamba-Nya kecuali dua orang yang tidak diampuninya, yaitu orang yang bermusuhan dan pembunuh orang.” (HR. Ahmad dalam al-Musnad [2/176] dengan sanad yang lemah, sebagaimana dapat dilihat dalam al-Targhib wa al-Tarhib [3/284] dan Majma’ al-Zawaid [8/65]).

Hadits Kedua
 “Dari Mu’adz bin Jabal, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah subhanahu wa ta’ala melihat kepada makhluk-Nya pada malam Nishfu Sya’ban, lalu memberikan ampunan kepada seluruh makhluk-Nya kecuali kepada orang yang menyekutukan Allah atau orang yang bermusuhan.” (HR. Ibn Hibban dalam Shahih-nya [12/481], al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir [20/109] dan al-Mu’jam al-Ausath, dan Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya’ [5/195], semuanya dari jalur Makhul, dari Malik bin Yukhamir dari Mu’adz secara marfu’. Al-Hafizh al-Haitsami berkata dalam Majma’ al-Zawaid [8/65], “Hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir dan al-Mu’jam al-Ausath, dan para perawinya dapat dipercaya”. Malik bin Yukhamir seorang perawi tsiqah dan mukhadhram (generasi tabi’in yang mengikuti masa Jahiliyah), sedangkan Makhul pernah menjumpainya, sehingga hadits ini tidak mengalami keterputusan (inqitha’), sebagaimana asumsi sebagian kalangan. 

Kesimpulannya, Ibnu Hibban sangat tepat dalam menilai shahih hadits tersebut.
Hadits di atas juga diriwayatkan dari 3) jalur Abu Hurairah oleh al-Bazzar dalam Musnad-nya [2/436], 4) jalur Abu Tsa’labah al-Khusyani oleh al-Thabarani [Majma’ al-Zawaid 8/65] dan Ibnu Abi Ashim dalam al-Sunnah [1/223], 5) jalur Auf bin Malik oleh al-Bazzar [2/463], 6) jalur Abu Bakar al-Shiddiq oleh Ibnu Khuzaimah dalam al-Tauhid [no. 90] dan Ibnu Abi Ashim [no. 509], 7) jalur Abu Musa oleh Ibnu Majah [1/446] dan al-Lalaka’i [no. 763] dan 8) jalur Aisyah oleh Ahmad [6/238], al-Tirmidzi [3/107] dan Ibnu Majah [1/445].


Kesimpulan dari riwayat-riwayat tersebut adalah menetapkan keutamaan malam Nishfu Sya’ban secara khusus, dan salah satu dari riwayat di atas telah dishahihkan oleh Ibnu Hibban. Bahkan al-Albani – ulama Salafi-Wahabi -, juga menilainya shahih dalam Silsilah al-Ahadits al-Shahihah [1144], dalam Shahih Sunan Ibn Majah [1/233] dan dalam ta’liq terhadap kitab al-Sunnah karya Ibnu Abi Ashim [no. 509, 510, 511 dan 512). Riwayat yang shahih ini, sekaligus menaikkan riwayat-riwayat lainnya yang dianggap dha’if menjadi hasan lighairihi sebagaimana telah menjadi ketetapan dalam ilmu hadits.

Oleh karena keutamaan malam Nishfu Sya’ban memiliki dasar yang sangat kuat, umat Islam sejak generasi salaf banyak yang menghidupkannya dengan aneka ragam ibadah seperti shalat, doa dan lain-lain. Syaikh Ibnu Taimiyah, ulama panutan utama kaum Salafi-Wahabi berkata dalam fatwanya:
 “Ibnu Taimiyah ditanya tentang shalat malam Nishfu Sya’ban, maka ia menjawab: “Apabila seseorang menunaikan shalat pada malam Nishfu Sya’ban, sendirian atau bersama jamaah tertentu sebagaimana dikerjakan oleh banyak kelompok kaum salaf, maka hal itu baik.” Di tempat lain, Ibnu Taimiyah juga berkata: “Adapun malam Nishfu Sya’ban, telah diriwayatkan banyak hadits dan atsar tentang keutamaannya dan telah dikutip dari sekelompok kaum salaf bahwa mereka menunaikan shalat pada malam itu. Jadi shalat yang dilakukan oleh seseorang sendirinya pada malam tersebut, telah dilakukan sebelumnya oleh kaum salaf dan ia mempunya hujjah, oleh karena itu hal seperti ini tidak boleh diingkari.” (Majma’ Fatawa Ibni Taimiyah [3/131-132].

Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali, salah seorang murid Ibnu Taimiyah, juga berkata dalam kitabnya Lathaif al-Ma’arif sebagai berikut:
 “Malam Nishfu Sya’ban, kaum Tabi’in dari penduduk Syam mengagungkannya dan bersungguh-sungguh menunaikan ibadah pada malam tersebut. Khalid bin Ma’dan, Luqman bin Amir dan lain-lain dari kalangan tabi’in Syam mendirikan shalat di dalam Masjid pada malam Nishfu Sya’ban. Perbuatan mereka disetujui oleh al-Imam Ishaq Ibnu Rahawaih. Ibnu Rahawaih berkata mengenai shalat sunnah pada malam Nishfu Sya’ban di Masjid-masjid secara berjamaah: “Hal tersebut tidak termasuk bid’ah.” (al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali, Lathaif al-Ma’arif [h. 263] dengan disederhanakan).

Wal-hasil, keutamaan malam Nishfu Sya’ban memiliki dasar hadits-hadits yang shahih. Menghidupkan malam tersebut dengan aneka ragam ibadah sunnah telah dianjurkan oleh banyak ulama salaf, untuk mengharapkan rahmat Allah yang turun pada malam utama tersebut. Lebih-lebih malam Nishfu Sya’ban termasuk salah satu malam yang dipermudah terkabulnya doa. Al-Imam al-Syafi’i berkata dalam kitab al-Umm sebagai berikut:
Al-Syafi’i berkata: “Telah sampai kepada kami bahwasanya selalu dikatakan bahwa permohonan akan dikabulkan dalam lima malam, yaitu malam Jum’at, malam hari raya idul adha, malam hari raya idul fitri, awal malam di bulan Rajab dan malam Nishfu Sya’ban.” (Al-Imam al-Syafi’i, al-Umm [1/231]).

Berdasarkan keterangan di atas, kita jumpai kaum Muslimin sejak masa-masa yang silam menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan aneka ragam ibadah dan kebajikan seperti bersedekah, mengerjakan shalat sunnah secara berjamaah, membaca surat Yasin dan diakhiri dengan doa kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

YANG TIDAK DIAUMPUNI PADA MALAM NISHFU SYA’BAN
Malam Nishfu Sya’ban adalah malam yang utama. Pada malam tersebut, Allah memberikan ampunan kepada banyak umat Islam. Akan tetapi ada beberapa golongan yang tidak akan mendapatkan ampunan pada malam nishfu Sya’ban tersebut. Siapa saja mereka? Kesimpulan dari sekian banyak hadits keutamaan malam nishfu Sya’ban, orang-orang yang tidak akan diampuni adalah:
Pertama, orang yang melakukan kesyirikan. Syirik adalah dosa terbesar dan pelakunya tidak akan diampuni oleh Allah. Termasuk pada malam nishfu Sya’ban, orang yang melakukan kesyirikan tidak akan mendapatkan ampunan Allah.
Kedua, orang yang bermusuhan. Maksud orang yang bermusuhan dalam hadits tersebut adalah orang yang di hatinya terdapat kebencian kepada saudaranya seagama, karena urusan ribadi pribadi. Sebagian ulama berpendapat bahwa kebencian yang menghalangi ampunan Allah adalah kebencian kepada para sahabat. Demikian pendapat al-Imam al-Auza’iy. Ada juga yang berpendapat, kebencian yang menghalangi ampunan adalah orang yang meninggalkan ajaran Ahlussunnah Waljamaah, mencela umat Islam dan menumpahkan darah mereka.

 Sumberipun : Muhammad Idrus Ramli

Note :
Tahun 1439 Hijriah ini, malam pertengahan bulan Sya’ban atau Nisfu Sya’ban (15 Sya’ban) jatuh pada Senin (30/4/2018) malam atau malam Selasa..

Sabtu, 28 April 2018

Berdzikir Dengan Nama Tunggal (al-Ism al-Mufrad)



Berdzikir Dengan Nama Tunggal (al-Ism al-Mufrad)
Pertanyaan:
Assalamualaikum Ustadz, orang-orang SaWah (Salafi-Wahabi) di daerah kami melarang berdzikir dengan hanya menyebut Asma Allah saja seperti lafal al-Jalalah (Allah) dan Asma-asma yang lain, apabila tidak digabung dengan kalimat lain dalam satu bentuk kalimat. Menurut orang-orang SaWah, dzikir dengan cara tersebut termasuk bid’ah, tidak dapat pahala dan tidak ada dalil dalam al-Qur’an dan hadits. Mohon penjelasannya Ustadz.
Jawaban:
Berdzikir dengan Nama Tunggal (al-Ism al-Mufrad) yaitu dengan lafal Allah saja, atas Nama-nama lain yang terdapat dalam al-Asma’ al-Husna, bukan perbuatan bid’ah, melainkan perbuatan Sunnah yang dianjurkan dalam al-Qur’an dan Hadits. Dalam al-Qur’an, Allah berfirman:
 “Katakanlah “Allah”, kemudian biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya.” (QS al-An’am : 91).

Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mengatakan kalimat Allah. Berarti orang yang mengatakan lafal Allah secara tunggal dapat pahala. Dalam ayat lain, Allah juga berfirman:
 “Sebutlah Nama Tuhanmu, dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan.” (QS al-Muzzammil : 8).

Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan agar menyebut Nama-Nya. Kalau ada yang bertanya, siapa Tuhanmu? Tentu Nama Tuhan yang paling populer adalah Nama, Allah. Berarti ayat ini memerintahkan untuk berdzikir dengan dzikir apa saja, termasuk dzikir dengan Nama Tunggal. Dalam hadits shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 “Dari Anas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kiamat tidak akan terjadi, sehingga di muka bumi tidak ada yang menyebut, “Allah, Allah.” (Hadits shahih riwayat Muslim [392]).
 “Sahabat Anas berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kiamat tidak akan terjadi ketika ada seseorang yang berkata, Allah Allah.” (Hadits shahih riwayat Muslim [393]).

Kedua hadits di atas menunjukkan bahwa kiamat akan terjadi, ketika tidak ada seorang pun di muka bumi yang menyebut, Allah Allah. Dalam kisah keislaman Sahabat Bilal radhiyallaahu ‘anhu disebutkan:
Sahabat Abdullah bin Mas’us radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Orang yang pertama kali menampakkan keislamannya adalah tujuh orang; yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, Ammar dan ibunya yang bernama Sumayyah, Shuhaib, Bilal dan a-Miqdad. Adapun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Allah melindunginya dengan perantara pamannya Abu Thalib. Sedangkan Abu Bakar, Allah melindunginya dengan perantara kaumnya. Sedangkan yang lain, maka orang-orang musyrik telah menyiksa mereka. Orang-orang musyrik memakaikan mereka dengan baju besi dan melelehkannya dalam sinar Matahari. Tidak ada seseorang di antara mereka, kecuali melakukan apa yang mereka kehendaki. Kecuali Bilal. Maka ia telah mengorbankan dirinya kepada Allah. Ia dipandang rendah oleh kaumnya. Mereka menyerahkannya kepada anak-anak. Mereka mengaraknya ke jalan-jala di bukit Makkah, sedangkan ia berkata, Ahad Ahad (Yang Maha Esa, Yang Maha Esa). (Hadits hasan riwayat Ahmad dalam al-Musnad [3832]).

Dalam hadits di atas, sahabat Bilal, ketika disiksa oleh orang-orang Musyrik, beliau menghadapi mereka dengan berdzikir, Ahad Ahad, Nama Tunggal (al-Ism al-Mufrad), di antara Nama-nama Allah yang terdapat dalam al-Asma’ al-Husna.

Dengan demikian, dalil-dalil di atas mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa berdzikir dengan Nama Tunggal (al-Ism al-Mufrad), dengan lafal al-Jalalah (Allah) atau Nama-nama lain yang terdapat dalam al-Asma’ al-Husna, bukan termasuk amalan bid’ah seperti yang dikatakan oleh orang-orang Salafi-Wahabi. Berdzikir dengan Nama Tunggal, telah diperintahkan dalam al-Qur’an dan berlangsung sejak masa-masa awal Islam. Wallahu a’lam.